Jumat, 27 Januari 2012

MENGGAPAI MANISNYA IMAN


Manisnya iman berarti: rasa bahagia yang diperoleh atas ketaatan terhadap Allah yang dilakukan seseorang. Ibarat makan ketika kita dapat merasakan sensasi yang luar biasa atas makanan yang dimakan kita dapat mengatakan. "Luar biasa". Sehingga menjadi ketagihan untuk memakannya di lain waktu. Demikian juga Iman: ketaatan yang dilakukannya tidak lagi hanya sebagai kewajiban melainkan sudah menjadi kebutuhan.
Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata beliau makna ini cocok dengan makna iman dalam istilah syari’at. Dan beliau mengkritik orang yang memaknai iman secara bahasa hanya sekedar pembenaran hati (tashdiq) saja tanpa ada unsur menerima dan tunduk. Kata ’iman’ adalah fi’il lazim (kata kerja yang tidak butuh objek), sedangkan tashdiq adalah fi’il muta’addi (butuh objek) (Lihat Syarh Arba’in, hal. 34)
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” (Perkataan dua orang imam ini bisa dilihat di Al Wajiz fii ‘Aqidati Salafish shalih, hal. 101-102) Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.” (Lihat Fathul Baari, I/60)
Penjelasan definisi iman
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’ artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan kemampuannya (Lihat Kitab At Tauhid li Shaff Ats Tsaani Al ‘Aali, hal. 9)
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang (Lihat Fathu Rabbbil Bariyah, hal. 102). Hal ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Dalil dari As Sunnah di antaranya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sosok kaum perempuan, ”Tidaklah aku melihat suatu kaum yang kurang akal dan agamanya dan lebih cepat membuat hilang akal pada diri seorang lelaki yang kuat daripada kalian ini (kaum perempuan).” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah, sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Tidak masuk akal keberadaan salah satunya tanpa diiringi oleh yang lainnya.
Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5 karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal hati. Wallahu a’lam.
                                                                       
                                                           By. Ribut Adhi Wahyudi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar